Sad Darsana (Filsafat Wedanta)
Pengertian Dan Pokok-Pokok Ajaran Wedanta
Pendahuluan
Agama
Hindu tidak didirikan oleh orang tertentu, pemikiran, atau inkarnasi tertentu.
Dengan demikian, tradisi Agama Hindu bukanlah bersifat tunggal dan merupakan
sistem teori, prinsip, atau praktek yang sederhana. Hal ini terdiri dari berbagai pemikiran da pengalaman yang
berbeda yang telah terkumpulkan selama lebih dari ribuan tahun oleh para Rsi
dan orang-orang suci.[1]
Filsafat, agama, dan ilmu saling berkaitan. Walaupun
agama berlandaskan kepercayaan, dan filsafat berdasarkan pertimbangan (ratio),
akan tetapi tidak bertentangan, sebab ditinjau dari sudut tujuannya, sama-sama
mencari kebenaran.[2]
Agama Hindu pun tak terlepas dari Filsafat yang dikenal dengan nama Darsana
(Filsafat Hindu).
Pengertian
Filsafat dan Wedanta
Pengertian filsafat berbeda dengan ilmu pengetahuan
dan berbeda pula dengan pengertian agama. Menurut Drs.S.P. Siagian, MPA. dalam bukunya Filsafat
Administrasi mengatakan
“kata filsafat’ berasal dari bahasa
Yunani, dari kata “Philllos” berarti gemar, senang atau cinta, dan kata “Sophia”
artinya kebijaksanaan. Karena itu filsafat berarti cinta kepada kebijaksanan.
Seseorang menjadi bijaksana karena berusaha mendalami hakikat sesuatu. Dengan
demikian filsafat berarti berusaha mengetahui tentang sesuatu dengan
sedalam-dalamnya, baik mengenai hakekat adanya sesuatu fungsi,
ciri-cirinya,kegunaannya, masalahnya serta pemecahan terhadap masalah-masalah
itu.[4]
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh
W.J.S. Poerwadarminta, Falsafat berati pengetahuan dan penyelidikan dengan akal
budi mengenai sebab-sebab, asas-asas hkum, dsb. daripada segala yang ada dalam
alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya” sesuatu.[5]
Selain itu Prof.Ir.R. Pudjawijatna, dalam bukunya
Pembimbing ke arah Filsafat, juga menegaskan arti filsafat adalah ilmu yang
berusaha mencari sebab-sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu
berdasarkan pikiran belaka. Secara garis besar
perkembangan filsafat di dunia dibagi menjadi 2 kubu, yakni filsafat yang
mengacu ke Timur
(Asia) dan filsafat yang mengacu pada Barat
(Eropa).
Dari
kedua kubu filsafat tersebut, yang pertama berkembang adalah filsafat yang
berasal dari Timur.
Filsafat Timur
sendiri sebenarnya terdiri dari tiga cabang yang didasarkan pada periodeisasi dan
wilayahnya, yaitu filsafat India, filsafat Cina, dan filsafat Arab. Filsafat
India mengarah pada Hinduisme dan Budhaisme, filsafat Cina mengarah kepada
Taoisme dan Konfusianisme,
sedangkan filsafat Arab, tentu saja mengarah kepada Islam. Mengacu pada periodesasi
filsafat Timur,
filsafat yang berkembang pertama kalinya adalah aliran filsafat India yang
mengarah kepada Hinduisme dan Budhaisme.
Adapun Wedanta berasal dari kata “weda” dan “anta”, yang artinya bagian
terakhir dari Weda
(Uttara Mimamsa) atau selesainya Weda.
Nama ini adalah nama yang diberikan pada ajaran Upanisad.
Upanisad sendiri tidak terorganisasi dan filsafat yang sistematis agar dapat
dianalisis dengan lebih mudah.[6] Wedanta
merupakan kesimpulan dan perluasan tafsir Upanisad. Didirikan oleh Badarayana
pada 500 M.[7]
Didalamnya
dibicarakan apa yang disebut “Jnana Marga”, yang artinya “Jalan Ilmu”. Hal itu
menunjukkan bahwa Wedanta itu adalah suatu jalan kelepasan dengan mempergunakan
ilmu (pengetahuan).[8]
Kitab Upanisad
juga disebut dengan Wedanta, karena kitab-kitab ini mewujudkan bagian akhir
dari Weda yang bersifat menyimpulkan. Upanishad juga yang sudah dikenal sebagai
Wedanta, sudah ribuan tahun menjadi sumber inspirasi filsafat religius umat
Hindiu. Kata Upanishad memiliki arti duduk dekat guru atau mendekatkan diri
kepada Tuhan. Upanishad merupakan ajaran rahasia dari Weda yang oleh para guru
dinamakan dengan istilah Wedopanisad. Jumlah kitab Upanishad adalah 108 buah.
Walaupun hanya diterima sebagai “sruti”, yaitu
sebagai bagian dari pewahyuan Weda, status Upanishad bukan menyampaikan
kearifan manusia, namun menyediakan kebenaran yang membebaskan.[9]
Ada tiga faktor yang meyebabkan Upanishad disebut dengan Wedanta, yaitu:
1. Upanishad
adalah hasil karya terakhir dari zaman Weda.
2. Pada
zaman Weda program pelajaran yang disampaikan oleh para Resi kepada sisyanya,
Upanishad juga merupakan pelajaran terakhir. Para Brahmacari pada mulanya
diberikan peajaran Shamhita yakni koleksi syair-syair dari zaman Weda. Kemudian
dilanjutkan dengan pelajaran Brahmana yaitu tata cara untuk melaksanakan
upacara keagamaan
3. Upanishad
merupakan kumpulan syair-syair yang terakhir daripada zaman Weda. Oleh karena
itu Upanishad adalah inti dari Weda atau Wedanta.[10]
Ada yang menyebutkan bahwa sebutan Wedanta itu
diartikan sebagai suatu sistem filsafat yang ajarannya didasarkan pada kitab
Upanishad. Karena banyaknya kitab Upanishad dan untuk memudahkan sistem
pengajarannya, maka Badarayana mencoba menyusun secara sistematis pengajaran
Upanishad dalam sebuah Sutra yang dinamakan Wedanta Sutra. Kitab ini
terbagi atas empat bab yang setiap babnya memuat hal – hal sebagai berikut :
1. Menyatakan
bahwa Brahman adalah realitas yang tertinggi dan semua ayat Weda mengandung
Brahman di dalamya.
2. Menyatakan
bahwa semua ajaran yang tidak sesuai dengan Weda tidak akan dapat
dipertahankan.
3. Membicarakan
syarat – syarat untuk menyatukan diri dengan Brahman.
4. Membicarakan
pahala dari seseorang yang telah mendapatkan pengetahuan tentang Brahman atau
Brahma Widhya.
Kitab Brahma Sutra (Wedanta Sutra), Upanisad dan
Bhagawadgita, ketiga kitab tersebut menjadi dasar filsafat Wedanta.
A. Pokok-pokok
Ajaran Wedanta
Ajaran Vedanta, sering juga disebut dengan Uttara
Mimamsa yaitu penyelidikan yang kedua, karena ajaran ini mengkaji bagian Weda,
yaitu Upanishad. Kata Vedanta berakar kata dari Vedasya dan Antah yang berarti
akhir dari Weda. Sumber ajaran ini adalah kitab Vedantasutra atau dikenal juga
dengan nama Brahmasutra (Aphorisme yang
berhubungan degan Brahman). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pelopor
ajaran ini adalah Maharsi Vyasa, atau dikenal juga dengan nama Badarayana atau
Krishna Dwipayana.[11]
Brahma Sutra terdiri dari 550 aphorisme dan ringkasan
dari filsafat dasar dari Upanishad dalam empat treatise (Adhyaya). Dengan
adanya pandangan dari para cendikiawan, dalam Brahma Sutra merefleksikan
filsafat Chandogya Upanisad lebih dari Upanisad yang lain. Aphorisme dalam
Brahma Sutra sangatlah pendek dan beberapa diantaranya hanya terdiri dari satu
atau dua kata. Aphorisme ini tidak dapat diketahui artinya tanpa pembahasan.
Komentar tradisional yang mengandung dasar dari berbagai sistem filsafat, yang
beberapa diantaranya memberikan interpretasi diametris yang berlawanan dari
sutra kecil yang sama.[12]
Ada tiga sekolah utama filsafat Wedanta yang berbeda
satu sama lain dalam cara memandang hubungan antar pribadi, hal-hal dan
realitas tertinggi (Brahman). Untuk lebih
jelasnya kita lihat gambar dan keterangan dibawah ini:
Untuk memenuhi sebagai pendiri aliran Vedanta dengan
julukan “master” (acarya), seorang pemimpin religius harus menulis komentar
terhadap teks-teks utama Upanisad,
Bhagavad-ghita, dan Vedanta Sutra.[13]Seperti
yang telah disebutkan diatas, ada 3 sekolah utama filsafat Wedanta yang
masing-masingnya memiliki tokoh dan pendapat yang berbeda. Perbedaan dasar dari
sistem ini adalah kepercayaan mereka untuk pertain
dengan hubungan inter antara Brahman, dunia, dan atman.
Adwaita Wedanta
Pemikiran Adwaita didasarkan pada interpretasi Wedanta
yang dibuat oleh Adi Sankaracarya seorang Rsi dan juga seorang cendekiawan
terkemuka, yang sering disebut dengan seorang ahli metafisika Hindu yang
jenius. Beliau hidup kira-kira 788-820 SM yang terlahir dalam keluarga Brahmana
di kota Coshin, India Selatan. Saat ia berumur delaan tahun, ia sudah menguasai
semua kitab Hindu. Ia menjadi seorang yang religius, guru spiritual juga pereformasi
dan pendiri dari empat Monasteri di India, diantaranya di Badrinatha di
Himalaya, di Dwarika di Pantai Barat,di Puri di Pantai Timur, dan yang terakhir
di Sringeri di daerah Mysore. Biara ini sangat terkenal dan merupakan pusat
pembelajaran dan tempat suci di India.[14]
Adwaita adalah sistem
nondualistis. Menurut
Sankara, Atman sama dengan Brahman, yakni esensi subjektivitas yang bersatu
dengan esensi dunia. Dunia seluruhnya tergantung pada Brahman, tetapi Brahman
tidak tergantung pada dunia. Brahman adalah dasar seluruh pengalaman, ia tidak
sama dengan dunia, tidak berbeda dengan dunia, tidak empiris, tidak objektif,
bukan tidak ada, sangat berbeda dari yang lain. Moksa atau pembebasan diri
dicapai dengan praktek devosi dan
mewudjudkan nilai-nilai etis. Ini dicapai selama orang hidup.[15]
Menurut Adwaita Wedanta, semua makhluk baik yang hidup
maupun yang tidak hidup tiada lain adalah Brahman. Brahman adalah kenyataan
mutlak dan tidak ada kenyataan yan lain selain Brahman. Dalam kata-katanya
Sankaracarya mengatakan:
“Brahman
sendiri adalah kebenaran, dalam dunia yang tidak nyata ini. Atman (Jiwa
individu) adalah hanya Brahman dan bukan yang lain”.[16]
Wishistadwaita
Ramanujacarya
(1055-1137) adalah tokoh utama yang menguraikan pemikiran filsafat Wedanta. Ia
terlahir dari keluarga Brahmana di Bhutapuri di India Selatan. Ia adalah orang
suci dan seorang cendekiawan dan mengajarkan pencerahan suci di Srirangam dekat
dengan Tiruchirappali saat ini.[17]
Wishistadwaita menekankan
perbedaan dalam non dualisme Sankara. Dunia Diri, Brahman itu riil, tapi dunia
dan diri tergantung pada Brahman. Diri memiliki eksistensi abadi, dunia atau materi diri
dan Brahman membentuk satu kesatuan, tetapi diri dan dunia hanya sebagai tubuh
Brahman. Diluar Brahman tidak ada apa-apa. Itu sebabnya Ramanuja disebut
nondualisme dengan perbedaan yakni Brahman memiliki dua bentuk, diri dan
materi.setinggi apapun
manusia merealisasikan diri, Brahman masih lebih tinggi. Manusia harus selalu
menghormati Brahman, itulah sebabnya Ramanuja menekankan aspek
kebaktian pada Brahman.[18]
Jadi, pandangan Ramanuja ialah bahwa Brahman adalah
kesatuan organis yang dibentuk oleh identitas (jati diri) yang terdiri dari
bagian-bagian. Ia bukan sesuatu yang abstrak tetapi konkrit dengan dibentuk
oleh objek-objek yang bermacam-macam dari kesadaran dan serempak juga kesadaran
itu sendiri. Kesatuan organis inilah yang disebut Ramanuja Brahman, atau Dewa
(Ishvara).[19]
Dwaita
Pemikiran dari filsafat ini dikembangkan oleh Madhvacarya (1199-1278) SM,
yang lahir di Udipi dekat dengan Managlore di pantai
Barat India. Ia adalah vaisnava
(pemuja Dewa Wisnu) seorang yang suci dan pereformasi keagamaan. Ia
mengembangkan sistem filsafat yang mengkombinasikan dualisme dengan theisme da
dikenal dengan nama Dwaita, “filsafat
dari keduanya”.[20]
Menurut Madhva, pokok-pokok ajaran filsafatnya adalah
perbedaan (beda). Sistem ini disebut juga realistis karena mengakui bahwa dunia
ini adalah nyata bukan maya. Akhirnya sistem ini juga bersifat theistis, karena
menerima adanya Tuhan yang pribadi sebagai satu-satunya kenyataan yang berdiri
sendiri (swatantra) dengan kata lain Madhva mengakui/percaya dengan adanya
manifestasi dari Tuhan yang beraneka ragam. Dasar ajaran Madhva adalah mengakui
adanya kenyataan yang beraneka ragam di dunia ini, semuanya mempunyai ciri dan
sifat tersendiri, sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan. Menurutnya, di
dunia ini ada lima macam perbedaan-perbedaan, yaitu:
Ø Perbedaan antara Tuhan dengan jwa,
Ø Perbedaan antara jiwa dengan jiwa yang lainnya,
Ø Perbedaan antara Tuhan dengan benda,
Ø Perbedaan antara jiwa dengan benda,
Ø Perbedaan antara benda yang satu dengan benda yang
lainnya.
Semua itu berbeda secara mutlak, sekalipun perbedaan itu
tidak berarti bahwa semuanya tidak saling bergantungan.[21]
Penemuan besar pada
masa Upanishad adalah apa yang biasa disebut sebagai sintesis sebagai
Atman-Brahman, yakni identifikasi jiwa individual
(Atman) dengan dasar semesta alam (Brahman).
Daftar Pustaka
Pandit, Bansi, Pemikiran
Hindu, Denpasar: Paramita, 2006.
Swabodhi,
D.D. Harsa, Analogi Falsafat Budha Dharma
& Hindu Dharma, Medan: Yayasan Perguruan Budaya, 1980.
Drs.S.P Siagian, MPA, Filsafat Administrasi, 1980.
Poerwadarminta,
W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
PN Balai Pustaka, 1976.
El. Marzdedeq,
A.D, Parasit Akidah, Bandung: Arkan,
2008.
Honig
Jr, AG, Ilmu Agama, Jakarta: PT. BPK
Gunung Mulya, 1997.
Ali,
Matius, Filsafat India
Sebuah Pengantar Hinduisme & Budhisme, Jakarta: SANGGAR LUXOR,
2010.
Rudia, I Gede, dkk, Tattwa
Darsana, Jakarta: YAYASAN DHARMA SARATHI, 1990.
http://id.wikipedia.org/wiki/adwaita
wedanta, di unduh pada 23 Oktober 2012
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_filsafat/Bab_2.pdf, di unduh pada 23 Oktober 2012
M. Koller, John, Filsafat
Asia, Flores: Penerbit LEDALERO, 2010
[2]. D.D. Harsa Swabodhi, Analogi Falsafat Budha Dharma & Hindu Dharma, (Medan: Yayasan
Perguruan Budaya, 1980), h.8
[6]. Bansi
Pandit, Pemikiran Hindu, (Denpasar:
Paramita, 2006), h. 63
[7]. A.D. El. Marzdedeq, Parasit Akidah, (Bandung: Arkan, 2008), h. 68
[8]. AG. Honig Jr, Ilmu Agama, (Jakarta: PT. BPK
Gunung Mulya, 1997), h.125
[9]. Matius Ali, Filsafat
India Sebuah Pengantar Hinduisme & Budhisme, (Jakarta: SANGGAR
LUXOR, 2010),
h. 99
[12]. Bansi Pandit,
Pemikiran Hindu, (Denpasar: Paramita,
2006), h. 63
[13]. Matius
Ali, Filsafat India, (Jakarta:
SANGGAR LUXOR, 2010), h.105
[15].http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_filsafat/Bab_2.pdf, di unduh pada 23 Oktober 2012
[16]. Ibid, h.65
[17]. Ibid, h.66
[18]. http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_filsafat/Bab_2.pdf, di unduh pada 23 Oktober 2012
[19]. John. M. Koller, Filsafat Asia, (Flores:
Penerbit LEDALERO, 2010), h.176
Semoga bermanfaat.. ^^
BalasHapus