Copyright © Mengintip Agama Hindu
Design by Dzignine
Rabu, 05 Desember 2012

Filsafat Wedanta


Sad Darsana (Filsafat Wedanta)
Pengertian Dan Pokok-Pokok Ajaran Wedanta
Pendahuluan
      Agama Hindu tidak didirikan oleh orang tertentu, pemikiran, atau inkarnasi tertentu. Dengan demikian, tradisi Agama Hindu bukanlah bersifat tunggal dan merupakan sistem teori, prinsip, atau praktek yang sederhana. Hal ini terdiri dari berbagai pemikiran da pengalaman yang berbeda yang telah terkumpulkan selama lebih dari ribuan tahun oleh para Rsi dan orang-orang suci.[1]
Filsafat, agama, dan ilmu saling berkaitan. Walaupun agama berlandaskan kepercayaan, dan filsafat berdasarkan pertimbangan (ratio), akan tetapi tidak bertentangan, sebab ditinjau dari sudut tujuannya, sama-sama mencari kebenaran.[2] Agama Hindu pun tak terlepas dari Filsafat yang dikenal dengan nama Darsana (Filsafat Hindu).



















                         Gambar: Pembagian Filsafat  Hindu[3]

Pengertian Filsafat dan Wedanta
Pengertian filsafat berbeda dengan ilmu pengetahuan dan berbeda pula dengan pengertian agama. Menurut Drs.S.P. Siagian, MPA. dalam bukunya Filsafat Administrasi mengatakan “kata filsafat’ berasal dari bahasa Yunani, dari kata “Philllos” berarti gemar, senang atau cinta, dan kata “Sophia” artinya kebijaksanaan. Karena itu filsafat berarti cinta kepada kebijaksanan. Seseorang menjadi bijaksana karena berusaha mendalami hakikat sesuatu. Dengan demikian filsafat berarti berusaha mengetahui tentang sesuatu dengan sedalam-dalamnya, baik mengenai hakekat adanya sesuatu fungsi, ciri-cirinya,kegunaannya, masalahnya serta pemecahan terhadap masalah-masalah itu.[4]
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta, Falsafat berati pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas hkum, dsb. daripada segala yang ada dalam alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya” sesuatu.[5]
Selain itu Prof.Ir.R. Pudjawijatna, dalam bukunya Pembimbing ke arah Filsafat, juga menegaskan arti filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab-sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Secara garis besar perkembangan filsafat di dunia dibagi menjadi 2 kubu, yakni filsafat yang mengacu ke Timur (Asia) dan filsafat yang mengacu pada Barat (Eropa).
Dari kedua kubu filsafat tersebut, yang pertama berkembang adalah filsafat yang berasal dari Timur. Filsafat Timur sendiri sebenarnya terdiri dari tiga cabang yang didasarkan pada periodeisasi dan wilayahnya, yaitu filsafat India, filsafat Cina, dan filsafat Arab. Filsafat India mengarah pada Hinduisme dan Budhaisme, filsafat Cina mengarah kepada Taoisme dan Konfusianisme, sedangkan filsafat Arab, tentu saja mengarah kepada Islam. Mengacu pada periodesasi filsafat Timur, filsafat yang berkembang pertama kalinya adalah aliran filsafat India yang mengarah kepada Hinduisme dan Budhaisme.
Adapun Wedanta berasal dari kata weda” dan “anta, yang artinya bagian terakhir dari Weda (Uttara Mimamsa) atau selesainya Weda. Nama ini adalah nama yang diberikan pada ajaran Upanisad. Upanisad sendiri tidak terorganisasi dan filsafat yang sistematis agar dapat dianalisis dengan lebih mudah.[6] Wedanta merupakan kesimpulan dan perluasan tafsir Upanisad. Didirikan oleh Badarayana pada 500 M.[7]
 Didalamnya dibicarakan apa yang disebut “Jnana Marga”, yang artinya “Jalan Ilmu”. Hal itu menunjukkan bahwa Wedanta itu adalah suatu jalan kelepasan dengan mempergunakan ilmu (pengetahuan).[8]
Kitab Upanisad juga disebut dengan Wedanta, karena kitab-kitab ini mewujudkan bagian akhir dari Weda yang bersifat menyimpulkan. Upanishad juga yang sudah dikenal sebagai Wedanta, sudah ribuan tahun menjadi sumber inspirasi filsafat religius umat Hindiu. Kata Upanishad memiliki arti duduk dekat guru atau mendekatkan diri kepada Tuhan. Upanishad merupakan ajaran rahasia dari Weda yang oleh para guru dinamakan dengan istilah Wedopanisad. Jumlah kitab Upanishad adalah 108 buah.
Walaupun hanya diterima sebagai “sruti”, yaitu sebagai bagian dari pewahyuan Weda, status Upanishad bukan menyampaikan kearifan manusia, namun menyediakan kebenaran yang membebaskan.[9] Ada tiga faktor yang meyebabkan Upanishad disebut dengan Wedanta, yaitu:
1.      Upanishad adalah hasil karya terakhir dari zaman Weda.
2.      Pada zaman Weda program pelajaran yang disampaikan oleh para Resi kepada sisyanya, Upanishad juga merupakan pelajaran terakhir. Para Brahmacari pada mulanya diberikan peajaran Shamhita yakni koleksi syair-syair dari zaman Weda. Kemudian dilanjutkan dengan pelajaran Brahmana yaitu tata cara untuk melaksanakan upacara keagamaan
3.      Upanishad merupakan kumpulan syair-syair yang terakhir daripada zaman Weda. Oleh karena itu Upanishad adalah inti dari Weda atau Wedanta.[10]
Ada yang menyebutkan bahwa sebutan Wedanta itu diartikan sebagai suatu sistem filsafat yang ajarannya didasarkan pada kitab Upanishad. Karena banyaknya kitab Upanishad dan untuk memudahkan sistem pengajarannya, maka Badarayana mencoba menyusun secara sistematis pengajaran Upanishad dalam sebuah Sutra yang dinamakan Wedanta Sutra. Kitab ini terbagi atas empat bab yang setiap babnya memuat hal – hal sebagai berikut :
1.      Menyatakan bahwa Brahman adalah realitas yang tertinggi dan semua ayat Weda mengandung Brahman di dalamya.
2.      Menyatakan bahwa semua ajaran yang tidak sesuai dengan Weda tidak akan dapat dipertahankan.
3.      Membicarakan syarat – syarat untuk menyatukan diri dengan Brahman.
4.      Membicarakan pahala dari seseorang yang telah mendapatkan pengetahuan tentang Brahman atau Brahma Widhya.
Kitab Brahma Sutra (Wedanta Sutra), Upanisad dan Bhagawadgita, ketiga kitab tersebut menjadi dasar filsafat Wedanta.
A.    Pokok-pokok Ajaran Wedanta
Ajaran Vedanta, sering juga disebut dengan Uttara Mimamsa yaitu penyelidikan yang kedua, karena ajaran ini mengkaji bagian Weda, yaitu Upanishad. Kata Vedanta berakar kata dari Vedasya dan Antah yang berarti akhir dari Weda. Sumber ajaran ini adalah kitab Vedantasutra atau dikenal juga dengan nama Brahmasutra (Aphorisme yang berhubungan degan Brahman). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pelopor ajaran ini adalah Maharsi Vyasa, atau dikenal juga dengan nama Badarayana atau Krishna Dwipayana.[11]
Brahma Sutra terdiri dari 550 aphorisme dan ringkasan dari filsafat dasar dari Upanishad dalam empat treatise (Adhyaya). Dengan adanya pandangan dari para cendikiawan, dalam Brahma Sutra merefleksikan filsafat Chandogya Upanisad lebih dari Upanisad yang lain. Aphorisme dalam Brahma Sutra sangatlah pendek dan beberapa diantaranya hanya terdiri dari satu atau dua kata. Aphorisme ini tidak dapat diketahui artinya tanpa pembahasan. Komentar tradisional yang mengandung dasar dari berbagai sistem filsafat, yang beberapa diantaranya memberikan interpretasi diametris yang berlawanan dari sutra kecil yang sama.[12]
Ada tiga sekolah utama filsafat Wedanta yang berbeda satu sama lain dalam cara memandang hubungan antar pribadi, hal-hal dan realitas tertinggi (Brahman). Untuk lebih jelasnya kita lihat gambar dan keterangan dibawah ini:








Untuk memenuhi sebagai pendiri aliran Vedanta dengan julukan “master” (acarya), seorang pemimpin religius harus menulis komentar terhadap teks-teks utama Upanisad, Bhagavad-ghita, dan Vedanta Sutra.[13]Seperti yang telah disebutkan diatas, ada 3 sekolah utama filsafat Wedanta yang masing-masingnya memiliki tokoh dan pendapat yang berbeda. Perbedaan dasar dari sistem ini adalah kepercayaan mereka untuk pertain dengan hubungan inter antara Brahman, dunia, dan atman.
 
Adwaita Wedanta
Pemikiran Adwaita didasarkan pada interpretasi Wedanta yang dibuat oleh Adi Sankaracarya seorang Rsi dan juga seorang cendekiawan terkemuka, yang sering disebut dengan seorang ahli metafisika Hindu yang jenius. Beliau hidup kira-kira 788-820 SM yang terlahir dalam keluarga Brahmana di kota Coshin, India Selatan. Saat ia berumur delaan tahun, ia sudah menguasai semua kitab Hindu. Ia menjadi seorang yang religius, guru spiritual juga pereformasi dan pendiri dari empat Monasteri di India, diantaranya di Badrinatha di Himalaya, di Dwarika di Pantai Barat,di Puri di Pantai Timur, dan yang terakhir di Sringeri di daerah Mysore. Biara ini sangat terkenal dan merupakan pusat pembelajaran dan tempat suci di India.[14]
Adwaita adalah sistem nondualistis. Menurut Sankara, Atman sama dengan Brahman, yakni esensi subjektivitas yang bersatu dengan esensi dunia. Dunia seluruhnya tergantung pada Brahman, tetapi Brahman tidak tergantung pada dunia. Brahman adalah dasar seluruh pengalaman, ia tidak sama dengan dunia, tidak berbeda dengan dunia, tidak empiris, tidak objektif, bukan tidak ada, sangat berbeda dari yang lain. Moksa atau pembebasan diri dicapai dengan praktek devosi dan mewudjudkan nilai-nilai etis. Ini dicapai selama orang hidup.[15]
Menurut Adwaita Wedanta, semua makhluk baik yang hidup maupun yang tidak hidup tiada lain adalah Brahman. Brahman adalah kenyataan mutlak dan tidak ada kenyataan yan lain selain Brahman. Dalam kata-katanya Sankaracarya mengatakan:
“Brahman satyam jagan mithya, jivo Brahmaiva naparah”
Brahman sendiri adalah kebenaran, dalam dunia yang tidak nyata ini. Atman (Jiwa individu) adalah hanya Brahman dan bukan yang lain”.[16]
Wishistadwaita
Ramanujacarya (1055-1137) adalah tokoh utama yang menguraikan pemikiran filsafat Wedanta. Ia terlahir dari keluarga Brahmana di Bhutapuri di India Selatan. Ia adalah orang suci dan seorang cendekiawan dan mengajarkan pencerahan suci di Srirangam dekat dengan Tiruchirappali saat ini.[17]
 Wishistadwaita menekankan perbedaan dalam non dualisme Sankara. Dunia Diri, Brahman itu riil, tapi dunia dan diri tergantung pada Brahman. Diri memiliki eksistensi abadi, dunia atau materi diri dan Brahman membentuk satu kesatuan, tetapi diri dan dunia hanya sebagai tubuh Brahman. Diluar Brahman tidak ada apa-apa. Itu sebabnya Ramanuja disebut nondualisme dengan perbedaan yakni Brahman memiliki dua bentuk, diri dan materi.setinggi apapun manusia merealisasikan diri, Brahman masih lebih tinggi. Manusia harus selalu menghormati Brahman, itulah sebabnya Ramanuja menekankan aspek kebaktian pada Brahman.[18]
Jadi, pandangan Ramanuja ialah bahwa Brahman adalah kesatuan organis yang dibentuk oleh identitas (jati diri) yang terdiri dari bagian-bagian. Ia bukan sesuatu yang abstrak tetapi konkrit dengan dibentuk oleh objek-objek yang bermacam-macam dari kesadaran dan serempak juga kesadaran itu sendiri. Kesatuan organis inilah yang disebut Ramanuja Brahman, atau Dewa (Ishvara).[19]
Dwaita
Pemikiran dari filsafat ini dikembangkan oleh Madhvacarya (1199-1278) SM, yang lahir di Udipi dekat dengan Managlore di pantai Barat India. Ia adalah vaisnava (pemuja Dewa Wisnu) seorang yang suci dan pereformasi keagamaan. Ia mengembangkan sistem filsafat yang mengkombinasikan dualisme dengan theisme da dikenal dengan nama Dwaita, “filsafat dari keduanya”.[20]
Menurut Madhva, pokok-pokok ajaran filsafatnya adalah perbedaan (beda). Sistem ini disebut juga realistis karena mengakui bahwa dunia ini adalah nyata bukan maya. Akhirnya sistem ini juga bersifat theistis, karena menerima adanya Tuhan yang pribadi sebagai satu-satunya kenyataan yang berdiri sendiri (swatantra) dengan kata lain Madhva mengakui/percaya dengan adanya manifestasi dari Tuhan yang beraneka ragam. Dasar ajaran Madhva adalah mengakui adanya kenyataan yang beraneka ragam di dunia ini, semuanya mempunyai ciri dan sifat tersendiri, sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan. Menurutnya, di dunia ini ada lima macam perbedaan-perbedaan, yaitu:
Ø  Perbedaan antara Tuhan dengan jwa,
Ø  Perbedaan antara jiwa dengan jiwa yang lainnya,
Ø  Perbedaan antara Tuhan dengan benda,
Ø  Perbedaan antara jiwa dengan benda,
Ø  Perbedaan antara benda yang satu dengan benda yang lainnya.
Semua itu berbeda secara mutlak, sekalipun perbedaan itu tidak berarti bahwa semuanya tidak saling bergantungan.[21]
Penemuan besar pada masa Upanishad adalah apa yang biasa disebut sebagai sintesis sebagai Atman-Brahman, yakni identifikasi jiwa individual (Atman) dengan dasar semesta alam (Brahman).

Daftar Pustaka
Pandit, Bansi, Pemikiran Hindu, Denpasar: Paramita, 2006.
Swabodhi, D.D. Harsa, Analogi Falsafat Budha Dharma & Hindu Dharma, Medan: Yayasan Perguruan Budaya, 1980.

Drs.S.P Siagian, MPA, Filsafat Administrasi, 1980.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976.

 El. Marzdedeq, A.D, Parasit Akidah, Bandung: Arkan, 2008.

Honig Jr, AG, Ilmu Agama, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulya, 1997.

Ali, Matius, Filsafat India Sebuah Pengantar Hinduisme & Budhisme, Jakarta: SANGGAR LUXOR, 2010.

Rudia, I Gede, dkk, Tattwa Darsana, Jakarta: YAYASAN DHARMA SARATHI, 1990.

http://id.wikipedia.org/wiki/adwaita wedanta, di unduh pada 23 Oktober 2012


M. Koller, John, Filsafat Asia, Flores: Penerbit LEDALERO, 2010


[1]. Bansi Pandit, Pemikiran Hindu, (Denpasar: Paramita, 2006), h.57
[2]. D.D. Harsa Swabodhi, Analogi Falsafat Budha Dharma & Hindu Dharma, (Medan: Yayasan Perguruan Budaya, 1980), h.8
[3]. Bansi Pandit, Pemikiran Hindu, (Denpasar: Paramita, 2006), h.57
[4]. Drs.S.P Siagian, MPA, Filsafat Administrasi, 1980, h. 2
[5]. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976), h.280
[6]. Bansi Pandit, Pemikiran Hindu, (Denpasar: Paramita, 2006), h. 63
[7]. A.D. El. Marzdedeq, Parasit Akidah, (Bandung: Arkan, 2008), h. 68
[8]. AG. Honig Jr, Ilmu Agama, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulya, 1997), h.125
[9]. Matius Ali, Filsafat India Sebuah Pengantar Hinduisme & Budhisme, (Jakarta: SANGGAR LUXOR, 2010), h. 99
[10] I Gede Rudia, dkk, Tattwa Darsana, (Jakarta: YAYASAN DHARMA SARATHI, 1990), h. 67
[11].http://id.wikipedia.org/wiki/adwaita wedanta, di unduh pada 23 Oktober 2012
[12]. Bansi Pandit, Pemikiran Hindu, (Denpasar: Paramita, 2006), h. 63
[13]. Matius Ali, Filsafat India, (Jakarta: SANGGAR LUXOR, 2010), h.105
[14]. Bansi Pandit, Pemikiran Hindu, (Denpasar: Paramita, 2006), h.64
[16]. Ibid, h.65
[17]. Ibid, h.66
[19]. John. M. Koller, Filsafat Asia, (Flores: Penerbit LEDALERO, 2010), h.176
[20]. Bansi Pandit, Pemikiran Hindu, (Denpasar: Paramita, 2006), h.67
[21]. I Gede Rudia, dkk, Tattwa Darsana, (Jakarta: YAYASAN DHARMA SARATHI, 1990), h. 86

1 komentar: